Pengertian dan Konsepsi Akhlak

Pengertian dan Konsepsi Akhlak

Apa itu Akhlak?

Secara etimologis, kata 'al khuluq' (akhlak) berarti KARAKTER (as sajiyyah), WATAK (ath thaba), TRADISI (al adah), AGAMA (ad din), dan HARGA DIRI (al muru’ah). Dan para ahli bahasa mempergunakan setiap makna tersebut dengan bersandar pada beberapa bukti dari pepatah arab.

Sebenarnya, di antara makna tersebut mempunyai kaitan erat yang hampir bisa dihubungkan dalam suatu pengertian. Barangkali makna akhlak dalam tinjauan bahasa adalah satu, sedangkan makna-makna lainnya mempergunakan perluasan dan penjabarannya saja. Mungkin saja, makna satu ini juga dikenal oleh kaum moralis (al khuluqiyyun) meskipun pembuktian dari segi bahasa mempunyai kelemahan.

Kata 'al khuluq' menurut kaum moralis ialah pembawaan yg melekat (malakah) dalam jiwa. Mereka mengatakan bahwa keistimewaan yg paling nyata dari malakah ini adalah timbulnya kelakuan-kelakuan manusia tanpa kedalaman berpikir atau bersusah payah dalam berpendapat. Jika suatu sifat telah melekat pada seseorang misalnya sifat murah hati, maka dalam memanifestasikannya [mewujudkannya], ia tidak perlu berpikir panjang lagi tentang bagaimana caranya, kapan waktu yang tepat, apa untung ruginya, dan lain sebagainya. Sifat itu diwujudkannya secara spontan (refleks).

Akhlak dari Perspektif Etika

Sebagian pakar etika berpendapat, 'al khuluq' merupakan gambaran dari kehendak. Mungkin pendapat ini berusaha mengganti penjelasan dengan penjelasan lain yang lebih gamblang. Dan bila yang dimaksud 'gambaran' adalah malakah yang tersembunyi dalam jiwa yang dikerahkan untuk berkehendak saat bekerja, maka tidak ada pertentangan di antara dua definisi tersebut.

Pada diri manusia tersembunyi beberapa sifat yang bermacam macam pengaruhnya, seperti kejujuran, kedermawanan, dan keberanian. Sifat-sifat ini merupakan sumber tingkah lakunya. Dan yang dimaksud 'Al Khuluq' (akhlak) dari sifat-sifat psikologis adalah sesuatu yang terbentuk dalam jiwa dan tertanam didalamnya secara sempurna.

Kaum moralis mengutamakan kajian pada pembawaan-pembawaan psikologis (al malakah an nafsiyah) dari sisi keseimbangan, perubahan dan pendidikan. Sedangkan tingkah laku manusia yang dilakukan dengan kemaunnya sendiri, yang kaum rasionalis menyebutnya dengan kebaikan atau kejelekan, maka kaum kaum moralis menyebutnya dengan suluk (prilaku), dan mereka membahasnya dalam kajian kedua (sekunder). Sebab, ia merupakan manifestasi perwujudan eksternal dari akhlak yang tersembunyi, dan karena sisi lain adalah kunci untuk melatih sifat sifat psikologis jika menyimpang, dan untuk menyimpangkannya jika ia telah benar.

Akhlak Bukanlah Suatu Kebetulan

Akhlak merupakan pembawaan yang melekat dalam jiwa (malakah). Maka malakah harus memiliki fondasi sebagaimana bangunan memerlukan fondasi. Adapun fondasi akhlak ialah naluri, keturunan, lingkungan, pendidikan dan kebiasaan.

Prinsip-prinsip Akhlak

Para filsuf kuno berkata, manusia dilahirkan bagaikan lembaran-lembaran yang akan dilukis oleh pendidik sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Maksudnya adalah jiwa anak kecil dilatih oleh nalurinya, ia mudah dipengaruhi oleh pendidik dan pembimbingnya. Sebab, insting anak kecil selalu bersih (benar), tidak menyimpang, dan tidak berupa karakter tertentu. Oleh karena itu, ia mudah diarahkan dan siap untuk dididik.

Pengaruh fondasi-fondasi ini dalam membentuk akhlak bukan berdasar pada satu bentuk atau satu jalan saja. Sebab, naluri akan tampak dalam bentuk berbagai kecenderungan dan keinginan, sedangkan hukum keturunan akan mengubah persiapan insting; pengaruh pendidikan atau lingkungan akan mengarahkan jiwa ketika ingin bekerja; dan pengaruh tradisi (kebiasaan) akan mengukuhkan sifat sifat baru dan membentuknya menjadi akhlak. Jadi, prinsip-prinsip akhlak bisa disimpulkan dalam dua bagian, antara lain:

  • Pertama yang bersifat ikhtiyari, yaitu keberadaannya butuh pada kehendak manusia dan ikhtiar atau usahanya. Bagian ini mencakup tradisi (kebiasaan) dan sebagian pokok pendidikan serta lingkungan, seperti lembaga lembaga pendidikan dan teman.
  • Kedua yang berifat idhthirori, yaitu keberadaanya tidak berdasarkan pada kehendak manusia, walaupun manusia mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhinya. Bagian ini meliputi insting hukum keturunan, dan sebagian lain meliputi keturunan dan pendidikan.

Imam Jafar ash shadiq mengulas pembagian ini dalam perkataannya, "Sesungguhnya akhlak (al khuluq) adalah anugerah yang diberikan oleh Allah pada hamba-Nya. Di antaranya adalah karakter dan niat kehendak." Maksud 'karakter' di sini adalah watak (jibilah). Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa pemilik karakter akan bergerak sesuai dengan karakternya dan dirinya tidak dapat mengubahnya, sedangkan pemilik kehendak (niat) akan selalu sabar menjalankan ketaatan --dan inilah yang paling mulia--. Anonim dari karakter (sajjiyah) ialah NIAT (an niyyah), yaitu KEHENDAK (irradah).

Pengertian hadis tersebut menunjukkan bahwa akhlak yang baik adalah akhlak yang didorong oleh karakter bawaan (jibillah) dan dibangkitkan oleh fitrah. Pada bagian ini, manusia tidak merasa kesulitan dalam membentuknya dan juga dalam menindaklanjutinya. Namun pada bagian yang lain, terdapat sesuatu yang berlawanan dengan kecendrungan dan keinginan manusia. Bagian inilah yang butuh peperangan melawan hawa nafsu (mujahadah nafs) dan memerlukan kesabaran dalam menjaga kelanjutannya. Inilah bagian yang paling utama di antara kedua bagian tersebut.

Hakikat Akhlak dalam Islam

Islam adalah agama yang diterima disisi Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya sebagai penghormatan dan kemuliaan bagi mereka. Islam membuat mereka selamat di dunia dan di Akhirat. Karena itu mereka harus bersungguh sungguh untuk membersihkan jiwa mereka dari moral yang jelek. Karena moral yang jelek akan berdampak pada kejelekan yang lainnya, dan tidak sesuai dengan kesucian Islam.

Imam Jafar ash shadiq berkata,
"Allah rela Islam sebagai agama bagimu. Maka hiasilah Islam dengan kedermawanan dan akhlak baik."

Inilah yang dinyatakan oleh Imam Shadiq. Beliau memandang bahwa mendidik akhlak adalah sesuatu yang mungkin-mungkin saja, meskipun memerlukan keseriusan (jihad). Mengenai hal ini, beliau menyatakan, "Barang siapa yang jelek akhlaknya, maka ia telah menyiksa dirinya sendiri."

Akhlak buruk adalah siksaan yang dipilih sendiri oleh manusia, dan ia adalah neraka jahim yang mana orang yang berakal harus lari darinya. Ia adalah azab karena merupakan kehinaan dalam jiwa dan kelemahan dalam akal; ia adalah azab karena merupakan kekurangan dalam kemanusiaan dan penyimpangan dari keseimbangan; ia adalah azab yang dipilih sendiri oleh manusia karena manusialah yang menciptakannya. Dengan penjelasan tersebut beliau bertujuan manjadikan kehendak atau niat manusia sebagai senjata ampuh dalam menumpas segala sifat tercela (penyakit hati) dan berbagai kekurangan.

Sebagian kaum moralis berpendapat bahwa akhlak merupakan pengaruh-pengaruh psikologis (inthiba'at nafsiyyah) yang mustahil untuk diubah dan diarahkan, yang mana akal tak akan mampu menguasainya, kehendak (irradah) pun tidak akan mampu mengubahnya. Teori ini kelihatan dangkal dan merusak tatanan prinsip-prinsip serta mengabaikan peranan syariat, bahkan meruntuhkan peranan-peranan etika. Kesimpulan ini dengan sendirinya cukup sebagai bantahan terhadap pendapat ini.

Adapun perkataan Imam Jafar ash Shadiq yang telah disebutkan, "pemilik karakter bergerak sesuai dengan karakternya dan ia tidak dapat mengubahnya," bukan berarti akhlak adalah sesuatu yang mustahil untuk dididik dan (dirubah). Namun maksudnya pembentukan akhlak karena tradisi saja akan lebih menyulitkan manusia daripada pembentukannya atas kerjasama antara (insting) dan (naluri). Karena jika niat bertemu dengan kecenderungan yang (naluriah), maka ia akan lebih cepat bereaksi (berbuat), dan pengulangan perbuatan menghasilkan kebiasaan (tradisi) yang pada gilirannya terbentuklah akhlak.

Keduanya (kebiasaan dan naluri), saat terjadi perlawanan dan pendidikan, akan menghasilkan hal yang bertentangan dengan itu, sebab mengubah kebiasaan itu lebih mudah daripada mengubah naluri.

Alangkah indahnya ungkapan jihad yang dikemukakan oleh para imam Ahlulbait ini berkenaan dengan usaha mempertahankan nilai-nilai akhlak. Sebab, untuk mempertahankan akhlak dibutuhkan ketegaran seorang pejuang (mujahid), dan orang yang mampu dalam hal ini akan mendapatkan pahala yang diterima mujahid.

Rasulullah SAW berkata kepada sebagian pasukannya ketika sekembalinya mereka dalam peperangan, "Selamat datang kepada kaum yang menunaikan jihad kecil dan akan menghadapi jihad akbar --ialah jihad melawan hawa nafsu (jihad an nafs)--".

Imam Ja'far ash Shadiq juga berkata, "Jadikanlah hawa nafsumu sebagai musuhmu yang harus kamu perangi." Yang dimaksud dengan hawa nafsu disini adalah kebiasaan kebiasaan (sifat-sifat) yang hina (rendah). **

Sesuatu yang pantas untuk diperangi dengan gigih ialah hawa nafsu, karena ia adalah musuh bebuyutan yang licik dan jahat, yang selalu membawa senjata tipu daya namun dikemas dengan nasihat, dan mencampur racun pembunuh dengan manisnya harapan. Ia adalah musuh dalam selimut yang harus ditaklukkan dengan keadilan dan kebijaksanaan akal.

###

Disadur oleh:

Diposting oleh: