Ke Mana Gotong Royong Zaman Sekarang?

Akhirnya, setelah tadi siang berkesempatan blogwalk ke blog-blog para ahli opini, di tengah kesibukan kerja, aku ngedapetin juga artikel menarik buat disimak. BINGO..! Artikel yang mentahannya berjudul "Masih Adakah Gotong-Royong?" ini, isinya memang cukup panjang dan --lumayan lah-- bisa bikin capek mata buat ngebacanya. Tapi, menurutku artikel ini pantas buat dijadiin referensi bacaan kita, apalagi jika dikaitkan dengan keadaan sosio-psikologis di tengah-tengah masyarakat kita yang tampaknya semakin serba individualistis saja semakin ke sini.

Terima kasih untuk Om Fauzansa atas inspirasinya.

Yuk, mari kita simak artikelnya di bawah ini.

Gotong Royong

Gotong-royong merupakan sebuah definisi bangsa Indonesia yang selama ini menjadi monumen penting yang selalu diagung-agungkan bangsa Indonesia. Bahkan tetap dijadikan wacana utama dalam tiga periode politik bangsa ini. Sejarah kemerdekaan telah mencatat bahwa kata gotong-royong telah menjadi elemen penting dalam kehidupan bernegara Indonesia. Di zaman Orde Lama gotong-royong merupakan "kata suci" yang selalu dikumandangkan oleh Sukarno, bahkan pernah dalam salah satu pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa bila Pancasila diperas menjadi Ekasila, maka Ekasila itu adalah gotong-royong. Di zaman Orde Baru, walaupun tak segencar di zaman Orla, tetap saja gotong-royong menjadi salah satu kata penting di rezim pembangunan Suharto.

Berbagai kenyataan diungkapkan untuk mendukung pendapat bahwa gotong-royong adalah sifat dasar yang dimiliki bangsa Indonesia. Mulai dari sistem pertanian secara bersama, membangun rumah, dan segala macam kegiatan kemasyarakatan yang telah kita sama-sama baca dan pelajari sejak SD, semuanya menunjukkan bahwa gotong-royong sudah ada sejak zaman prasejarah di bumi Indonesia. Ya, memang sejak SD kita telah diberikan doktrin bahwa gotong-royong adalah sifat dasar bangsa Indonesia yang menjadi unggulan bangsa ini dan tidak dimiliki bangsa lain.

Tapi jika kita melihat kenyataan lain, apakah sampai hari ini gotong-royong masih ada di dalam jiwa bangsa ini? (di mana realitas yang ada menunjukkan gejala sosial seperti jurang kemiskinan yang kian dalam, pengangguran yang merajalela, kerusuhan di sana-sini, bayangan 'hantu' krisis ekonomi, serta persoalan-persoalan lainnya yang melanda bangsa seperti guliran bola yang tak kunjung kempis!)

Jikalau gotong-royong diartikan sebagai kerjasama, bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan, sepertinya sangat diragukan bahwa bangsa ini memiliki jiwa gotong-royong. Sebab kalaulah gotong-royong itu ada, hampir dipastikan tidak ada lagi jurang kemiskinan yang dalam, karena si kaya akan senatiasa membantu si miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pastilah tidak ada kerusuhan massa yang dipicu adanya ketidakadilan, karena, setiap tetidakadilan akan mustahil muncul dari jiwa yang bergotong royong. Demikian pula dengan krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya, dengan jiwa gotong royong, rasanya hal itu kecil kemungkinannya untuk terjadi.

Pendapat lain muncul. Jiwa gotong-royong sudah mulai terkikis akibat masuknya budaya individualisme dan materialisme dari Barat. Semula saya setuju dengan pandangan ini, namun belakangan saya mulai berpikir bahwa pendapat ini cuma sekedar apologi yang mencoba membenarkan pendapat pertama. Seandainya benar jika jiwa gotong-royong itu ada semenjak zaman dahulu, saya yakin, tidak mungkin bangsa Indonesia dijajah sampai berabad-abad lamanya. Saya yakin, bila jiwa gotong-royong itu ada pada bangsa Indonesia, maka pastilah bangsa ini tidak pernah mau hidup terjajah.

Namun nyatanya, selalu butuh seorang tokoh untuk menggerakkan perjuangan. Itupun biasanya harus dipicu dengan kejadian-kejadian yang bersifat ekonomis. Jarang sekali seorang raja yang mendapatkan "fasilitas" dari penjajah mau "memberontak", walupun alam dan rakyatnya dikuras dan diperas habis-habisan. Biasanya raja yang memberontak dipicu oleh pengambilan hak-hak istimewanya oleh penjajah, atau "fasilitas" penjajah yang kurang memenuhi hasratnya (namun sekali lagi, rakyatlah yang jadi korban ambisi sang raja, rakyat berperang sampai merkubang darah, sementara raja kalau kalah paling cuma ditangkap dan dibuang).

Sementara, rakyat pun demikian. Walaupun saudaranya ditindas, kebanyakan mereka enggan membantu bila mereka sendiri telah mendapatkan "rasa aman" dari penjajah. Buktinya, kebanyakan "centeng" dan mandor rodi, tanam paksa, dan sebagainya, mereka itu adalah para pribumi! Saya melihat bahwa kultur yang menonjol pada bangsa ini adalah kultur feodalisme, di mana seorang penguasa akan dapat dengan bebas memenuhi hasrat ekonominya, sementara rakyat kecil --secara kultural-- hanya bisa "nerimo-nerimo" saja dengan perlakuan penguasa.

Kebanyakan rakyat enggan memperjuangkan hak-haknya. Apalagi memperjuangkan hak saudaranya. Biarlah saja mereka menderita asal kita tidak, asal kita masih bisa makan, tidak apa-apa membayar upeti, kultur inilah yang dominan dimiliki bangsa ini. Dimana pembelaan terhadap penindasan penguasa adalah sesuatu yang tabu.

Penguasa seakan-akan adalah "tuhan" yang harus didengar dan ditaati kata-kata dan perintahnya, walaupun harus berdarah-darah untuk menaatinya. Karena, ketaatan kita diharapkan akan memberikan 'kredit' kepada kita, yaitu siapa tahu saja nanti kita bisa diangkat menjadi menteri atau punggawa kerajaan, tidak lagi menjadi rakyat biasa. Atau setidaknya, dapat sedikit 'warisan' bagian tanah dan jadi penguasa kecil (yang berarti pula, kemudian dapat menindas bawahannya, berikutnya dan berikutnya).

Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini hanyalah gotong-royong yang bersifat "aman dan menguntungkan bersama" semata. Sementara gotong-royong yang (seharusnya) "berdarah-darah" untuk menolak penindasan, masih merupakan sesuatu yang masih tabu. Gotong-royong yang dimiliki bangsa ini boleh dikata merupakan gotong-royong yang "HARUS" mempunyai feedback seperti:

  • Mari kita bersama bergotong-royong mengadakan kenduri, agar kelak saat kita punya hajat maka orang lain pun akan membantu kita !
  • Mari kita bergotong-royong membuat pengairan sawah, agar sawah kita pun dapat diairi !
  • Mari kita bergotong-royong membangun balai desa, agar nanti kita juga dapat nonton tv di sana !

atau

  • Buat apa kita bersama-sama mengentaskan orang-orang miskin, nanti mereka malah menjadi saingan dagang kita !
  • Buat apa kita sibuk-sibuk mengurusi orang lain yang tanahnya diambil paksa oleh penguasa, yang penting kita selamat, kalau ikut-ikutan nanti malah kena getahnya !
  • Buat apa ikut-ikutan memprotes kebijakan sekolah, nanti malah dicap anak nakal dan dapat nilai jelek !
  • Buat apa ikut-ikutan demo, nanti malah dipentung polisi dan ditahan, toh demo juga tidak selalu didengar, lagipula kebijakan yang diprotes itu kan tidak ada sangkut-pautnya dengan kita !

Bener, enggak? Atau mau bantah?